wanita yang shalehah

Minggu, 29 April 2012

husnuzhan (prasangka baik)


KATA PENGANTAR

            Bismillahirrahmanirrahim ..
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam berprasangkaan yang baik.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, meskipun dalam penyusunan makalah ini penulis telah mencurahkan semua kemampuan, namun penulis sangat menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari berbagai pihak.



Bandung, Rabu 28 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang
Suatu hari Rasulullah SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat dari para sahabat. Akan tetapi, Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas yang juga paman Nabi SAW tidak menyerahkan zakatnya. Umar pun kemudian melaporkan sikap ketiga sahabat itu kepada Rasulullah
Mendengar laporan itu, Rasulullah bersabda, ''Tiada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat kecuali dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku  telah mengambil zakatnya dua tahun lalu.''
Setelah itu, Rasulullah pun bersabda, ''Wahai Umar, apakah kamu tidak tahu bahwa paman seseorang itu sama seperti ayahnya?'' (HR Bukhari dan Muslim). Dari kisah itu, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk berbaik sangka kepada sesama. Nabi SAW senantiasa mengingatkan umatnya untuk menjauhi prasangka buruk.
Prasangka (syak) adalah penyakit yang sangat berbahaya di dalam kehidupan. Apalagi jika prasangka ini berlaku di kalangan Muslim yang sama-sama berusaha untuk membawa perubahan dan kebaikan di dalam masyarakat dan negara. Definisi prasangka pertama kali dikenalkan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport, yang menulis konsep itu dalam bukunya, “The Nature Of Prejudice in 1954“. Istilah itu berasal dari kata praejudicium, yaitu pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan/ pengalaman yang dangkal terhadap seseorang/sekelompok orang tertentu.
Perasaan yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya.

I.2     Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita selalu dalam keadaan baik, mudah dan berkah, maka pada hakikatnya manusia harus berprasangka baik kepada Allah SWT. , Alam Semesta (kehidupan), orang lain dan pada diri kita sendiri. Tentunya husnuzhan kepada Allah, senantiasa berkhasiat sepanjang hayat.

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

II.1    Penjelasan Prasangka
Dalam Kehidupan Dunia ini, seringkali kita merasa didzalimi oleh orang lain, berupa dipergunjingkan, disakiti atau dipermainkan oleh orang lain, bahkan tidak jarang oleh kerabat kita sendiri.  Maafkanlah mereka yang berbuat itu, karena Allah-lah yang akan menghukumnya.
Dalam hadist pun diterangkan bahwa:
وَاظَّنَّ، إيَّاكُم} صلعم اللهِ رَسُولُ قال :قال رض هُرَيرَةَ أبِي وَعَن
                                                 عَلَيهِ مُتَّفقٌ {اَلحَدِيثِ أكذَبُ اَلظَّنَّ فَإنَّ
Dan dari Abu Hurairah R.a berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Berhati-hatilah terhadap Zhan(prasangka), maka sesungguhnya prasangka itu sebohong-bohong ucapan.
Di dalam Hadis ini Nabi Saw. telah berpesan kepada kita agar berhati-hati dengan prasangka yang buruk terhadap seseorang.                                                                                                                             
Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul, menjelaskan secara detail tentang jenis-jenis prasangka, menurut Syekh al-Mishri, ada empat macam prasangka yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
1.    Prasangka yang diharamkan. Prasangka yang termasuk kategori haram itu adalah berprasangka buruk terhadap Allah serta berprasangka buruk terhadap kaum Muslimin yang adil.
2.    Prasangka yang diperbolehkan. ''Prasangka yang diperbolehkan adalah yang terlintas dalam hati seorang Muslim kepada saudaranya karena adanya hal yang mencurigakan,'' papar Syekh al-Mishri.
3.    Prasangka yang dianjurkan. Menurut dia, prasangka jenis ini adalah prasangka yang baik terhadap sesama Muslim.
4.    Prasangka yang diperintahkan. Menurut Syekh al-Mishri, prasangka yang diperintahkan adalah prasangka dalam hal ibadah dan hukum yang belum ada nashnya. ''Dalam hal ibadah, kita cukup berdasarkan prasangka yang kuat, seperti menerima kesaksian dari saksi yang adil, mencari arah kiblat, menaksir kerusakan-kerusakan, dan denda pidana yang tidak ada nash yang menentukan jumlah atau kadarnya,'' ungkapnya.
Sedangkan Sufyan ats-Tsauri menjelaskan ada dua jenis prasangka, yakni berdosa dan tidak berdosa.  Prasangka yang berdosa, tutur ats-Tasuri,  jika seseorang berprasangka dan mengucapkannya kepada orang lain.  Sedangkan,  yang tak berdosa adalah  prasangka yang tidak diucapkan atau disebarkan kepada orang lain. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan karena sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa, dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang, dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani.” Al-Hujuraat ayat 12


II.2    Prasangka adalah do'a, karena prasangka dapat menjadi kenyataan?
Ibnu Hibban meriwayatkan, bahwa Nabi Ayyub AS terjangkit penyakit selama delapan belas tahun. Hingga orang-orang dekat maupun yang jauh mengasingkan beliau. Kecuali dua orang dari saudaranya. Di mana keduanya setiap pagi dan sore menjenguk beliau. Suatu hari, salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, ”kamu tahu, demi Allah Ayyub telah melakukan suatu dosa yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di alam ini.” Temannya berkata, ”Apa itu?” Dia menjawab, ”Sejak delapan belas tahun Allah tidak mengasihi dia.” (Silsilah ash-shahihah, al-Albani menyatakan ’shahih’)
   Perbincangan itu sampai ke telinga Ayyub AS. Namun, semua itu tidak menyurutkan harapannya kepada Allah. Beliau ridha atas ketetapan Allah, dengan tetap optimis, bahwa Allah akan mengasihi dan menolongnya. Subhanallah, selama delapan belas tahun, beliau menjaga prasangka baiknya kepada Allah, dan tak pernah turun kadarnya dengan interval waktu yang begitu lama. Hal yang barangkali seandainya terjadi di antara kita (nas’alullahal ’aafiyah), harapan segera pupus setelah beberapa lama berusaha dan berdoa. Atau minimal terjadi pergulatan hebat antara keyakinan, keraguan dan bahkan ketidakpercayaan. Namun, tidak demikian dengan Nabi Ayyub AS.
Hingga suatu hari, Allah mewahyukan kepada beliau, (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum”. (QS. Shaad 42)
Begitulah, kemudian beliau sembuh total, seperti tidak pernah sakit sebelumnya, dan bahkan keadaannya lebih baik dari sedia kala.
Prasangka kepada Allah, tidak sama dengan prasangka kepada selain-Nya. Karena semua makhluk terbatas kemampuannya, sedangkan Allah, kuasa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Berbaik sangka kepada Allah tidak saja menimbulkan semangat berusaha lantaran luasnya harapan dan kesempatan. Namun hakikatnya, prasangka itu adalah permohonan dan doa.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan efek prasangka dalam usaha dan pengharapan, “Setiap kali seorang hamba berbaik sangka kepada Allah, maka harapanpun yang muncul adalah yang baik-baik, tawakalnya kepada Allah menjadi kokoh. Maka Allah tidak akan menyia-nyiakan keinginannya sedikitpun. Allah tidak akan menelantarkan orang yang berusaha dengan dilandasi optimis dan prasangka yang baik (kepada-Nya). Maka tidak ada yang lebih melapangkan dada setelah iman kepada Allah, selain percaya penuh kepada Allah, berharap kepada-Nya, dan selalu berbaik sangka kepada Allah.”
Bahkan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu atas dasar hadits qudsy di atas berkata, ”Demi Allah yang tiada ilah yang haq kecuali Dia, tiada seorangpun berbaik sangka kepada Allah, melainkan Allah akan memberikan sesuai yang disangkanya, karena kebaikan ada di tangan-Nya.” (Atz-Tadzkirah, imam al-Qurthubi)
Maka selayaknya seorang muslim tidak pernah melepaskan husnuzhannya kepada Allah dalam meraih segala kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal perolehan rejeki misalnya. Tak selayaknya seorang muslim khawatir dan takut jatuh dalam kemiskinan. Seakan rejekinya bergantung kepada manusia, musim, atau lingkungan di mana ia tinggal di dalamnya. Buruknya persangkaan ini justru menjadi penyebab sejati, seseorang akhirnya menjadi miskin. Karena tatkala ia merasa peluang ma’isyah sempit, menjadi sempitlah harapannya.
Kemudian akan menjalar pada lemahnya usaha dia untuk mencari karunia dari Allah. Andai saja dia berbaik sangka, bahwa Allah kuasa membagikan rejeki kepada siapapun, kapapun dan seberapapun, niscaya keadaan akan berubah. Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menahan tatkala Allah menghendaki untuk menganugerahkan rejeki kepada kita. Begitupun sebaliknya, tak ada satupun orang hebat, orang kaya, orang yang memiliki lapangan pekerjaan, tidak pula kondusifnya ekonomi sekitar bisa mendatangkan rejeki kepada kita, jika Allah menahannya. Allah berfirman; ”Atau siapakah dia yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizki-Nya? (QS.al-Mulk :21).
Begitupun ketika seseorang berada dalam ancaman, ketakutan dan kekhawatiran atas bahaya yang mengancam. Apa yang menjadi kenyataan pada akhirnya, tergantung persangkaan di awalnya. Orang-orang yang merasa berputus asa untuk berusaha, pun telah pupus harapannya kepada Allah, hanyalah orang yang lemah imannya terhadap kekuasaan-Nya. Merekapun jutsru mendatangi dukun, mengalungkan jimat dan menempuh hal-hal yang jauh dari nalar, jauh dari iman. Allah mencela orang-orang musyrik yang meragukan kekuatan dan kekuasaan Allah, lalu berpaling kepada sesembahan selain Allah, ”Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS az –Zumar 67).
Simaklah bapaknya muwahhidin, Khalilullah Ibrahim alaihis salam. Betapa kuat persangkaan baiknya kepada Allah. Bahwa tiada suatu kekuatanpun yang kuasa menahan kehendak-Nya, betapa pula tipu daya manusia itu lemah dan remeh di hadapan kekuasan-Nya. Tatkala Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala, beliau yakin Allah akan menyelamatkannya dengan cara yang dikehendaki-Nya. Diapun menyerahkan keselamatannya kepada Allah dengan berucap, “hasbunallah wa ni’mal wakil”, cukuplah Allah sebagai penolong, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.
Apa yang terjadi setelahnya? Allah membalas lunas persangkaan baik Ibrahim alaihis salam kepada Penciptanya, Kami (Allah) berfirman:”Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan itu mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS al-Anbiya’ 69-70).

II.3    Prasangka Menjadi Nyata?
Apa yang dialami Nabi Ayyub alaihis salam itu menguatkan kebenaran hadits qudsy, di mana Nabi saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,

 بِي عَبْدِى ظَنِّ عِنْدَ أَنَا
”Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR Bukhari)

Selagi seseorang berharap sembuh kepada Allah, dan terus terjaga prasangka baiknya kepada Allah, niscaya Allah akan menyembuhkannya. Begitu pula sebaliknya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, di mana ketika Nabi menengok seorang badui yang sedang sakit, beliau mengatakan, “la ba’sa, thahuurun insya Allah!”, tidak apa-apa, menjadi pembersih (dosa) in syaaAllah. Tapi, si badui itu malah menyanggah dengan kata-kata, “(Penyakit ini menjadi) pembersih katamu? Bukan, ini adalah demam tinggi yang menyerang si tua renta dan akan mengantarkannya ke dalam kubur!” Nabi saw menjawab “na’am idzan”, ya baiklah kalau begitu. Maka sakit itupun menyebabkan si badui itu wafat. Begitulah, buruk sangka menghasilkan hasil yang buruk, sebagaimana berbaik sangka kepada Allah membuahkan hasil yang diinginkan.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat, antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya. Dalam hal perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah persangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya.
Begitu pentingnya husnuzhan kepada Allah, hingga Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya ”Husnuzhan Billah”, menyebutkan 151 dalil baik berupa ayat maupun hadits, yang kesemuanya menghasung kita untuk optimis dalam berpengharapan, meninggalkan pesimistis dan putus asa, dan senantiasa konsisten dengan prasangka yang baik.

II.4    Baik Sangka Hingga Ajal di depan Mata
Husnuzhan kepada Allah, senantiasa berkhasiat sepanjang hayat. Bahkan, di detik-detik akhir kehidupan manusia, husnuzhan lebih dibutuhkan lagi. Karena kegentingan yang dihadapi tak tertandingi. Itulah saat yang paling menakutkan, mengkhawatirkan, sekaligus menentukan apa yang akan terjadi sesudahnya. Maka Nabi saw memperingatkan dengan serius, untuk menjaga husnuzhan sampai titik penghabisan. Beliau bersabda,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
”Janganlah salah seorang di antara kamu mati, kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” (HR Muslim)

Anas bin Malik juga menceritakan, bahwa Nabi saw menjenguk seorang pemuda yang sedang menghadapi sakaratul maut, lalu belia bertanya, “Bagaimana keadaan dirimu?” Orang itu berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya saya berharap (baik) kepada Allah, dan saya takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, Tidaklah berkumpul dua hal itu terkumpul dalam hati seorang hamba di saat seperti ini, kecuali Allah memberikan karunia sebagaimana yang diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti.” (HR Tirmidzi, Syaikh al-Albani mengatakan, “hasan”), begitulah dahsyatnya prasangka kepada Allah swt.


BAB III
KESIMPULAN

Secara bebas kita bisa mengatakan bahwa prasangka adalah sebuah fikiran terhadap sesuatu. Prasangka letaknya di alam quantum sehingga tidak bisa dilihat, hanya bisa dirasakan dalam benak atau dalam perasaan (batin). Karena di alam quantum (perasaan) segala sesuatu menyatu maka kita akan mendapati kenyataan bahwa jika kita memprasangkakan sesuatu sesungguhnya kita mengundang sesuatu itu (sangkaan itu akan mengenai kita juga).
Mengingat kenyataan demikian maka jika kita berprasangka buruk terhadap kehidupan ini terutama terhadap Allah Swt. , maka kita akan menerima segala keburukan dalam kehidupan kita sendiri, sebaliknya jika kita berprasangka baik terhadap kehidupan ini terutama terhadap Allah Swt. maka kita pun akan menerima segala kebaikan yang hadir dalam kehidupan kita yang datang nya dari Allah Swt.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat, antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya.Dalam hal perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah prasangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya. Salah satu cara memelihara jalinan ukhuwah Islamiyah adalah dengan berbaik sangka kepada saudara-saudara sesama Muslim.

Wanita dibawah naungan cahaya Al-Qur'an wal Sunnah



Apakah sifat seorang wanita yang beriman kepada Allah dan RasulNya?
Bagaimanakah seorang wanita itu seharusnya bertingkahlaku untuk dia digelar wanita yang solehah?
Dan apakah petunjuk Nabi kepada kaum wanita dari kalangan umatnya dalam menjalani kehidupannya?
Sesungguhnya tidaklah seorang wanita itu mengikut setiap pesanan dan nasihat dari guru sekalian umat ini melainkan dia digelar wanita yang solehah. Tiada satu pun yang dapat mengukur kebaikan dan kemuliaan seorang wanita itu melainkan dengan kekuatannya berpegang kepada al-Quran dan al-Sunnah. Tulisan ini akan menjawab persoalan-persoalan yang diutarakan di atas berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan al-Sunnah. Wahai kaum wanita, perhatilah dan selamilah petunjuk serta wasiat dari Penciptamu dan Rasulmu serta hadapilah hidup ini dengan hati yang lurus!
Sifat wanita yang beriman
Sekiranya seorang wanita itu berakhlak dan menghiasi dirinya dengan sifat-sifat berikut, maka bergembiralah dia dengan syurga yang dijanjikan oleh Allah untuknya.
(1) Keimanan dan taqwa kepada Allah serta kecintaannya kepada Rasul :
Seorang wanita itu seharusnya mendahulukan Allah dan Rasul dalam apa jua perkara serta menjadikan keduanya sebagai kayu ukur dalam setiap gerak-geri dan tingkahlakunya.
Allah Ta’ala berfirman yang bermaksud :
«Tiadalah bagi lelaki yang beriman dan wanita yang beriman (hak) untuk memilih dalam urusan mereka apabila Allah dan RasulNya telah memutuskan urusan itu. Barangsiapa menderhakai Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata» [al-Ahzab : 36].
Dan Nabi : telah menjanjikan bahawa mereka yang mendahulukan Allah dan RasulNya dalam setiap perkara maka mereka akan mendapat kemanisan iman. Nabi : berkata yang membawa maksud :
«Tiga perkara yang mana ia terdapat pada diri seseorang itu, maka dia akan merasai kemanisan iman ; orang yang mencintai Allah dan RasulNya melebihi segala sesuatu; orang yang mencintai orang lain kerana Allah; dan orang yang membenci kekafiran sebagaimana dia membenci dimasukkan ke dalam api neraka»[1].
Seorang wanita yang beriman itu selalu mengingati Allah dalam keadaan bersendiri mahupun ramai, dan dalam keadaan senang ataupun susah. Hatinya sentiasa terikat dengan Allah dan dia sentiasa memelihara iman di dalam hatinya dengan zikir, ibadah-ibadah sunat, membaca al-Quran serta memerhati tanda-tanda kekuasaan Allah. Kehidupan bagi seorang wanita itu bukanlah emas dan perhiasan, kehidupan juga bukan suami ataupun keluarga; tetapi kehidupan bagi seorang wanita itu ialah iman dan amalan-amalan soleh yang akan dibawa berjumpa Allah kelak. Allah berfirman yang bermaksud :
«Barangsiapa mengerjakan kebaikan baik lelaki ataupun perempuan, sedang dia beriman, nescaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik; dan Kami balasi mereka dengan pahala yang terlebih baik dari apa yang telah mereka amalkan» [al-Nahl : 97].
Seorang wanita yang menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai tunggak hidupnya, maka dia akan menjalani kehidupan di dunia ini dengan aman dan bahagia. Dari Suhaib al-Rumi, Nabi berkata yang bermaksud :
«Sungguh mengkagumkan urusan orang mukmin itu, setiap urusannya adalah baik, tidaklah perkara ini berlaku kepada seseorang pun melainkan orang mukmin, jika dia mendapat perkara gembira, dia bersyukur, itu adalah baik baginya, dan jika dia ditimpa musibah, dia bersabar, itu adalah baik baginya»[2].
(2) Sentiasa melazimi rumah dan tidak berhias-hias (tabarruj).
Sekian banyak dalil-dalil dari al-Quran dan al-Sunnah yang menunjukkan bahawa melazimi rumah itu adalah lebih baik bagi seorang wanita. Setiap apa yang disebut sebagai ‘baik’ oleh Allah dan Rasul, maka tiadalah sesuatu pun yang lebih baik dari perkara itu. Allah berfirman di dalam al-Quran yang menunjukkan perintah kepada isteri-isteri Nabi yang bermaksud :
«Tetaplah kamu dalam rumahmu dan janganlah kamu berhias-hias seperti berhiasnya perempuan jahiliyah yang dahulu…» [al-Ahzab : 34].
Ibn Kathir berkata ketika menafsirkan ayat ini : “Adab-adab ini telah Allah perintahkan kepada isteri-isteri Nabi dan wanita umat ini (untuk mereka mengikuti ummahat al-mukminin)…(ayat ini bermaksud) iaitu tetaplah kalian dan janganlah keluar tanpa sebarang hajat dan antara hajat yang dibenarkan syara’ ialah solat di masjid dengan syarat yang telah ditetapkan[3]“. Manakala al-Qurtubi pula berkata : “Ayat ini menunjukkan perintah untuk tetap di rumah, walaupun ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi, tetapi dari segi makna, ia juga merangkumi wanita-wanita lain, bagaimana tidak, sedangkan banyak perintah syara’ yang menyuruh wanita tetap di rumah dan tidak keluar kecuali darurat[4]“..
Dalam suatu hadis, Nabi berkata yang bermaksud : «Solat wanita di (bahagian dalam) rumahnya lebih baik dari solatnya di ruangan luar rumahnya[5], dan solatnya di dalam rumah kecilnya (makhda’[6]) lebih baik dari solatnya di dalam bahagian dalam rumahnya (tadi)»[7]. Walaubagaimana pun, wanita dibenarkan untuk solat di masjid, tetapi solat mereka di rumah itu adalah lebih baik seperti yang dikatakan oleh Nabi yang bermaksud:
«Janganlah kamu halang isteri-isteri kamu (bersolat) di masjid, (akan tetapi) rumah-rumah mereka
itu lebih baik bagi mereka
»[8].
Dalam syarah hadis ini disebutkan : ‘Solat wanita di rumah itu lebih baik bagi wanita daripada solat mereka di masjid sekiranya mereka mengetahui, tetapi mereka tidak mengetahuinya lantas meminta izin untuk ke masjid dan menganggap bahawa pahala mereka bersolat di masjid itu lebih banyak. Solat mereka di rumah itu lebih baik kerana ia lebih aman dari fitnah, lebih-lebih lagi setelah berlakunya tabarruj dan berhias-hias di kalangan wanita…[9]‘. Perintah ini dikuatkan lagi dengan sebuah hadis Nabi yang bermaksud :
«Wanita itu aurat, jika dia keluar maka syaitan akan memandangnya, dan seorang wanita itu paling hampir dengan Tuhannya sekiranya dia berada tetap di dalam rumahnya»[10].
Perkataan ‘istasyrafa’ dalam hadis di atas membawa maksud syaitan akan mencantikkan wanita itu di mata lelaki, dan ada pendapat yang mengatakan bahawa maksud hadis ini ialah syaitan akan memandang wanita itu untuk menyesatkannya dan orang lain akan menjadi sesat disebabkan olehnya[11]. Subhanallah! Hadis ini menunjukkan kelebihan melazimi rumah bagi seorang wanita dan itu merupakan antara cara yang terbaik untuk dia mendekatkan diri kepada Allah. Maksudnya sama seperti hadis[12] yang menyatakan bahawa seorang hamba itu paling hampir dengan Allah dalam keadaan sujud, yang mana hadis ini menunjukkan kelebihan sujud dan galakan untuk memperbanyakkan sujud.
Perintah bagi wanita supaya tetap di rumah dan larangan untuk mereka keluar dikecualikan sekiranya mereka keluar dengan sebab-sebab dan hajat tertentu yang dibenarkan syara’. Ini berdasarkan hadis Nabi di mana Aisyah :radhia menceritakan : Saudah :radhia telah keluar –selepas turunnya perintah hijab- kerana hajat tertentu, dan dia adalah seorang wanita yang berbadan besar, mereka yang mengenalinya pasti akan akan mengetahui bahawa dia adalah Saudah (walaupun dia memakai pakaian menutupi seluruh badan ataupun keadaan malam yang gelap), maka Umar melihatnya lalu berkata : Wahai Saudah, demi Allah, kamu tidak akan dapat menyembunyikan diri dari kami, maka fikirlah cara bagaimana kamu keluar tanpa dikenali. Aisyah berkata: Maka Saudah pun pulang, dan Baginda berada di rumahku sedang makan malam dan tangannya menggenggam daging, lalu dia masuk dan berkata : Wahai Rasulullah, aku telah keluar untuk menunaikan hajatku dan Umar telah berkata kepadaku (itu dan ini). Aisyah berkata : Maka Allah telah menurunkan wahyu kepadanya dan ketika keadaan itu selesai, daging itu masih berada di genggamannya seakan-akan beliau tidak mahu menyimpannya, lalu Nabi bersabda : «Kamu diizinkan keluar untuk memenuhi keperluanmu»[13].
(3) Sentiasa menundukkan pandangan dan memelihara dirinya.
Seorang wanita yang beriman dan solehah itu sentiasa menundukkan pandangannya dari melihat perkara-perkara yang haram dan sentiasa memelihara kehormatan dirinya sebagai seorang wanita yang beriman.
Telah menjadi kebiasaan bagi wanita-wanita zaman ini samada yang sudah bersuami atau pun masih belum berkahwin –kecuali mereka yang dipelihara oleh Allah- untuk mempunyai sahabat dari kalangan lelaki. Ini bertentangan dengan sifat wanita yang beriman dari kalangan hamba yang disifatkan oleh Allah dalam surah al-Nisa’ yang bermaksud :
«…dan berikanlah kepadanya mas kahwinnya dengan kadar yang patut, sedang hamba itu perempuan yang baik, bukan perempuan lacur dan bukan pula mengambil lelaki lain sebagai teman secara rahsia…» [al-Nisa' : 25].
Inilah budaya barat yang cuba diserap masuk di kalangan wanita-wanita Muslimah kerana musuh-musuh Allah ini tahu bahawa rosaknya wanita Muslimah bererti rosaklah generasi Islam yang akan datang! Tetapi malangnya, fenomena ini dianggap biasa di zaman ini bahkan wanita yang tiada sahabat lelaki itu pula yang dikatakan ketinggalan zaman serta tidak pandai bersosial dan sebagainya.
Allah jualah tempat meminta pertolongan.
Firman Allah lagi dalam surah yang sama mengenai sifat-sifat wanita yang baik
itu :
«…Perempuan-perempuan yang solehah ialah perempuan-perempuan yang taat, yang memelihara kehormatannya sewaktu suaminya tiada, sebagaimana Allah telah memeliharakan dirinya…» [al-Nisa' : 34].
Maksudnya, mereka ini memelihara kehormatan diri mereka dan memelihara rahsia suami ketika ketiadaannya sebagaimana Allah memelihara mereka dengan memerintahkan para suami supaya bergaul dengan baik dengan mereka dan menunaikan hak-hak para isteri[14]. Inilah ciri-ciri wanita yang solehah. Manakala perintah menundukkan pandangan pula tidaklah terhad pada lelaki sahaja, bahkan Allah telah mengkhususkan satu ayat yang menyuruh para wanita juga menundukkan pandangan. Firman Allah yang bermaksud :
«Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, supaya mereka merendahkan pandangan…» [al-Nur :
31].
(4) Menjaga lisan daripada mengumpat, memfitnah dan sebagainya.
Suka mengumpat, mencerca dan melaknat adalah satu sifat yang sering dikaitkan dengan wanita
–kita memohon keselamatan dari Allah supaya dijauhkan dari sifat ini-. Manakan tidak, sedangkan Allah sendiri mengkhususkan larangan ini kepada wanita di samping ayat yang umum melarang orang mukmin itu menghina sesama mukmin. Allah berfirman yang bermaksud :
«…dan jangan pula kaum perempuan menghina kaum perempuan yang lain, kerana boleh jadi perempuan yang dihina itu lebih baik dari perempuan yang menghina…» [al-Hujurat : 11].
Allah mengkhususkan larangan ini kepada wanita kerana kaum inilah yang seringkali cepat mengeluarkan kata-kata yang tidak baik samada mengumpat, menghina, mengata dan sebagainya[15]. Syeikh al-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya berkata : ‘…pada realitinya memang selalunya mereka yang dihina itu lebih baik dari yang menghina, kerana penghinaan itu tidak akan datang kecuali dari hati yang penuh dengan keburukan dan akhlak yang keji…’[16].
Allah Ta’ala juga berfirman yang bermaksud :
«…dan janganlah kamu mengumpat orang lain, sukakah salah seorang kamu memakan daging saudaranya yang telah mati?… » [al-Hujurat : 12].
Maka selayaknya bagi wanita yang beriman untuk menjauhi larangan Allah ini dan cuba sedaya-upaya untuk menjaga lisannya dari berkata yang tidak baik.. Hendaklah seorang wanita itu bertaqwa pada Allah dan meletakkan syurga dan neraka di hadapannya sebelum berkata apa-apa mengenai orang lain.
Dari Huzaifah :radhia, Nabi berkata yang bermaksud :
«Tidak akan masuk syurga qattaat (orang yang mendengar sesuatu sedangkan dia tidak mengetahui
hakikat sebenarnya dan kemudian menyebarkannya untuk tujuan berbuat kerosakan[17])[18].
——————————————————————————————————–
Rujukan
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahihnya, Kitab Bad’u al-wahyi, Bab Halawat al-iman, no. hadis : 16; Muslim dalam Sahihnya, Kitab al-Iman, Bab Bayan khisal man ittashafa bihinna wajada fiihi halawat al-iman, no. hadis : 67; al-Nasa’ie dalam Sunannya, Kitab al-Iman wa syara’i'ihi, Bab Halawat al-iman, no. hadis : 4988; Ahmad dalam Musnadnya, 3/103, no. hadis : 12021.
[2]Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya, Kitab al-Zuhd wa al-Raqa’iq, Bab al-Mu’min amruhu kulluhu khayr, no. hadis : 64; Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn Balban, Kitab al-Jana’iz, Bab Ma ja’a fi al-sabr, no. hadis : 2896. Lafaz hadis ini adalah lafaz Muslim.
[3]Ibn Kathir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, (T.Tp, T.Th) 3/636.
[4]Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, (T.Tp, T.Th) 14/158.
[5]Al-Hujurat : Kawasan lapang di dalam rumah.. Lihat : al-’Azhim Abadi, Syaraf al-Haq Muhammad Asyraf, ‘Aun al-Ma’budSyarh Sunan Abi Daud, (Beirut : Dar Ihya’ al-Turath al-’Arabi, 2001) 2/166.
[6]Al-makhda’ : Rumah kecil yang ada dalam rumah besar; tempat menyimpan barang-barang yang berharga. Lihat : Ibid.
[7]Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya, Kitab al-Salat, Bab al-Tasydid fi zalik, no. hadis : 570; Ibn Khuzaimah dalam Sahihnya, Kitab al-Salat, Bab Ikhtiyar Salat al-Mar’ah fi Baytiha ‘ala Salatiha, no. hadis : 1688; al-Hakim dalam al-Mustadrak, Kitab al-Imamah wa Salat al-Jama’ah, no. hadis : 757; al-Baihaqi dalam Sunannya, Kitab al-Haidh, Bab Khayr Masajid al-Nisa’ Qa’r Buyutihinna, no. hadis : 5144. Berkata al-Hakim : ‘Hadis ini hadis sahih menepati syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak meriwayatkannya di dalam kitab mereka. Keduanya berhujah dengan Muwarriq ibn Musyamrij al-’Ajaliyy’; dan ia dipersetujui oleh al-Zahabi.
[8]Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya, Kitab al-Salat, Bab Ma ja’a fi khuruj al-nisa’ ila al-masjid, no. hadis : 567; Ahmad, 2/76, no. hadis : 5468 & 5471; al-Hakim dalam al-Mustadrak, Kitab al-Imamah wa Salat al-jama’ah, no. hadis : 755; al-Baihaqi dalam Sunannya, Kitab al-Haidh, Bab Khayr Masajid al-Nisa’ Qa’r Buyutihinna, no. hadis : 5142. Berkata al-Hakim : ‘Hadis ini sahih menepati syarat Bukhari dan Muslim, keduanya berhujah dengan al-’Awwam bin Hawsyab dan telah thabit bahawa Habib mendengar dari Ibn Umar; tetapi mereka tidak meriwayatkan penambahan dalam hadis ini ‘wa buyutuhunna khayrun lahunna”. Dipersetujui oleh al-Zahabi.
[9]al-’Azhim Abadi, op. cit, 2/165.
[10]Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalam Sunannya, Kitab al-Ridha’, Bab bi dun tarjamah , no. hadis : 1173; Ibn Hibban dalam Sahihnya, Kitab al-Hazr wa al-Ibahat, no. hadis : 5599; Ibn Abi Syaibah dalam al-Musannaf, Kitab al-Salawat, Bab Man kariha zalik, no. hadis : 7616; Ibn Khuzaimah dalam Sahihnya, Kitab al-Salat, Bab Ikhtiyar Salat al-Mar’ah fi Baytiha ‘ala Salatiha…, no. hadis : 1685; al-Tabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Awsath, no. hadis : 10115 & 8096. Dalam riwayat al-Tirmizi oleh Abdullah, tiada lafaz : ‘Wa aqrabu ma takuunu…’ dan dia berkata : ‘Ini hadis hasan sahih gharib’. Berkata al-Haithami : ‘Diriwayatkan oleh al-Tabarani dalam al-Kabir dan perawi-perawinya dipercayai’. Lihat : al-Haithami, Nur al-Din Ali bin Abi Bakr, Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id, (Beirut : Dar al-Fikr, 1412H) 2/156.
[11]Lihat : al-Mubarakfuri, Muhammad Abdul Rahman bin Abdul Rahim, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami’ al-Tirmizi, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001) 4/283.
[12]Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya, Kitab al-Salat, Bab Ma Yuqaal fi al-Ruku’ wa al-Sujud, no. hadis : 482; Abu Daud dalam Sunannya, Kitab al-Salat, Bab Fi al-Du’a fi al-Ruku’ wa al-Sujud, no. hadis : 875; al-Nasa’ie dalam Sunannya, Sifat al-Salat, Aqrab Ma Yakuunu al-’Abd Min Allah ‘Azza wa Jalla, no. hadis : 1137; Ahmad dalam Musnadnya, 2/421, no. hadis : 9442.
[13]Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahihnya, Kitab al-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : [33 : 53], no. hadis : 4517; Muslim dalam Sahihnya, Kitab al-Salam, Bab Ibahat al-khuruj li al-nisa’ li qadha’ hajat al-insan, no. hadis : 2170.
[14]Lihat : al-Baghawi, al-Hussain bin Mas’ud, Ma’alim al-Tanzil, (al-Riyadh : Dar Thiibah, 2002M/1423H) 1/519.
[15]Lihat : al-Qurtubi, op. cit., 16/275.
[16]Al-Sa’di, Abdul Rahman bin Nasir, Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (al-Riyadh : Dar al-Salam, 2002M/1422H) 945.
[17]Lihat : Ibn Hajar, Ahmad bin Ali Abu Fadhl, Fath al-Bari, (Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1379H) 10/473.
[18]Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahihnya, Kitab al-Adab, Bab Ma Yukrahu min al-Namimah, no. hadis : 5709; Abu Daud dalam Sunannya, Kitab al-Adab, Bab fi al-Qattaat (al-Nammaam), no. hadis : 4871; Ahmad dalam Musnadnya, 5/382, 389, 397, 402, 404; al-Nasa’ie dalam Sunan al-Kubra, Kitab al-Tafsir, Surah al-Qalam, no. hadis : 11614.