wanita yang shalehah

Minggu, 29 April 2012

husnuzhan (prasangka baik)


KATA PENGANTAR

            Bismillahirrahmanirrahim ..
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam berprasangkaan yang baik.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, meskipun dalam penyusunan makalah ini penulis telah mencurahkan semua kemampuan, namun penulis sangat menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari berbagai pihak.



Bandung, Rabu 28 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang
Suatu hari Rasulullah SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat dari para sahabat. Akan tetapi, Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas yang juga paman Nabi SAW tidak menyerahkan zakatnya. Umar pun kemudian melaporkan sikap ketiga sahabat itu kepada Rasulullah
Mendengar laporan itu, Rasulullah bersabda, ''Tiada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat kecuali dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku  telah mengambil zakatnya dua tahun lalu.''
Setelah itu, Rasulullah pun bersabda, ''Wahai Umar, apakah kamu tidak tahu bahwa paman seseorang itu sama seperti ayahnya?'' (HR Bukhari dan Muslim). Dari kisah itu, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk berbaik sangka kepada sesama. Nabi SAW senantiasa mengingatkan umatnya untuk menjauhi prasangka buruk.
Prasangka (syak) adalah penyakit yang sangat berbahaya di dalam kehidupan. Apalagi jika prasangka ini berlaku di kalangan Muslim yang sama-sama berusaha untuk membawa perubahan dan kebaikan di dalam masyarakat dan negara. Definisi prasangka pertama kali dikenalkan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport, yang menulis konsep itu dalam bukunya, “The Nature Of Prejudice in 1954“. Istilah itu berasal dari kata praejudicium, yaitu pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan/ pengalaman yang dangkal terhadap seseorang/sekelompok orang tertentu.
Perasaan yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya.

I.2     Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita selalu dalam keadaan baik, mudah dan berkah, maka pada hakikatnya manusia harus berprasangka baik kepada Allah SWT. , Alam Semesta (kehidupan), orang lain dan pada diri kita sendiri. Tentunya husnuzhan kepada Allah, senantiasa berkhasiat sepanjang hayat.

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

II.1    Penjelasan Prasangka
Dalam Kehidupan Dunia ini, seringkali kita merasa didzalimi oleh orang lain, berupa dipergunjingkan, disakiti atau dipermainkan oleh orang lain, bahkan tidak jarang oleh kerabat kita sendiri.  Maafkanlah mereka yang berbuat itu, karena Allah-lah yang akan menghukumnya.
Dalam hadist pun diterangkan bahwa:
وَاظَّنَّ، إيَّاكُم} صلعم اللهِ رَسُولُ قال :قال رض هُرَيرَةَ أبِي وَعَن
                                                 عَلَيهِ مُتَّفقٌ {اَلحَدِيثِ أكذَبُ اَلظَّنَّ فَإنَّ
Dan dari Abu Hurairah R.a berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Berhati-hatilah terhadap Zhan(prasangka), maka sesungguhnya prasangka itu sebohong-bohong ucapan.
Di dalam Hadis ini Nabi Saw. telah berpesan kepada kita agar berhati-hati dengan prasangka yang buruk terhadap seseorang.                                                                                                                             
Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul, menjelaskan secara detail tentang jenis-jenis prasangka, menurut Syekh al-Mishri, ada empat macam prasangka yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
1.    Prasangka yang diharamkan. Prasangka yang termasuk kategori haram itu adalah berprasangka buruk terhadap Allah serta berprasangka buruk terhadap kaum Muslimin yang adil.
2.    Prasangka yang diperbolehkan. ''Prasangka yang diperbolehkan adalah yang terlintas dalam hati seorang Muslim kepada saudaranya karena adanya hal yang mencurigakan,'' papar Syekh al-Mishri.
3.    Prasangka yang dianjurkan. Menurut dia, prasangka jenis ini adalah prasangka yang baik terhadap sesama Muslim.
4.    Prasangka yang diperintahkan. Menurut Syekh al-Mishri, prasangka yang diperintahkan adalah prasangka dalam hal ibadah dan hukum yang belum ada nashnya. ''Dalam hal ibadah, kita cukup berdasarkan prasangka yang kuat, seperti menerima kesaksian dari saksi yang adil, mencari arah kiblat, menaksir kerusakan-kerusakan, dan denda pidana yang tidak ada nash yang menentukan jumlah atau kadarnya,'' ungkapnya.
Sedangkan Sufyan ats-Tsauri menjelaskan ada dua jenis prasangka, yakni berdosa dan tidak berdosa.  Prasangka yang berdosa, tutur ats-Tasuri,  jika seseorang berprasangka dan mengucapkannya kepada orang lain.  Sedangkan,  yang tak berdosa adalah  prasangka yang tidak diucapkan atau disebarkan kepada orang lain. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan karena sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa, dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang, dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani.” Al-Hujuraat ayat 12


II.2    Prasangka adalah do'a, karena prasangka dapat menjadi kenyataan?
Ibnu Hibban meriwayatkan, bahwa Nabi Ayyub AS terjangkit penyakit selama delapan belas tahun. Hingga orang-orang dekat maupun yang jauh mengasingkan beliau. Kecuali dua orang dari saudaranya. Di mana keduanya setiap pagi dan sore menjenguk beliau. Suatu hari, salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, ”kamu tahu, demi Allah Ayyub telah melakukan suatu dosa yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di alam ini.” Temannya berkata, ”Apa itu?” Dia menjawab, ”Sejak delapan belas tahun Allah tidak mengasihi dia.” (Silsilah ash-shahihah, al-Albani menyatakan ’shahih’)
   Perbincangan itu sampai ke telinga Ayyub AS. Namun, semua itu tidak menyurutkan harapannya kepada Allah. Beliau ridha atas ketetapan Allah, dengan tetap optimis, bahwa Allah akan mengasihi dan menolongnya. Subhanallah, selama delapan belas tahun, beliau menjaga prasangka baiknya kepada Allah, dan tak pernah turun kadarnya dengan interval waktu yang begitu lama. Hal yang barangkali seandainya terjadi di antara kita (nas’alullahal ’aafiyah), harapan segera pupus setelah beberapa lama berusaha dan berdoa. Atau minimal terjadi pergulatan hebat antara keyakinan, keraguan dan bahkan ketidakpercayaan. Namun, tidak demikian dengan Nabi Ayyub AS.
Hingga suatu hari, Allah mewahyukan kepada beliau, (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum”. (QS. Shaad 42)
Begitulah, kemudian beliau sembuh total, seperti tidak pernah sakit sebelumnya, dan bahkan keadaannya lebih baik dari sedia kala.
Prasangka kepada Allah, tidak sama dengan prasangka kepada selain-Nya. Karena semua makhluk terbatas kemampuannya, sedangkan Allah, kuasa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Berbaik sangka kepada Allah tidak saja menimbulkan semangat berusaha lantaran luasnya harapan dan kesempatan. Namun hakikatnya, prasangka itu adalah permohonan dan doa.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan efek prasangka dalam usaha dan pengharapan, “Setiap kali seorang hamba berbaik sangka kepada Allah, maka harapanpun yang muncul adalah yang baik-baik, tawakalnya kepada Allah menjadi kokoh. Maka Allah tidak akan menyia-nyiakan keinginannya sedikitpun. Allah tidak akan menelantarkan orang yang berusaha dengan dilandasi optimis dan prasangka yang baik (kepada-Nya). Maka tidak ada yang lebih melapangkan dada setelah iman kepada Allah, selain percaya penuh kepada Allah, berharap kepada-Nya, dan selalu berbaik sangka kepada Allah.”
Bahkan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu atas dasar hadits qudsy di atas berkata, ”Demi Allah yang tiada ilah yang haq kecuali Dia, tiada seorangpun berbaik sangka kepada Allah, melainkan Allah akan memberikan sesuai yang disangkanya, karena kebaikan ada di tangan-Nya.” (Atz-Tadzkirah, imam al-Qurthubi)
Maka selayaknya seorang muslim tidak pernah melepaskan husnuzhannya kepada Allah dalam meraih segala kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal perolehan rejeki misalnya. Tak selayaknya seorang muslim khawatir dan takut jatuh dalam kemiskinan. Seakan rejekinya bergantung kepada manusia, musim, atau lingkungan di mana ia tinggal di dalamnya. Buruknya persangkaan ini justru menjadi penyebab sejati, seseorang akhirnya menjadi miskin. Karena tatkala ia merasa peluang ma’isyah sempit, menjadi sempitlah harapannya.
Kemudian akan menjalar pada lemahnya usaha dia untuk mencari karunia dari Allah. Andai saja dia berbaik sangka, bahwa Allah kuasa membagikan rejeki kepada siapapun, kapapun dan seberapapun, niscaya keadaan akan berubah. Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menahan tatkala Allah menghendaki untuk menganugerahkan rejeki kepada kita. Begitupun sebaliknya, tak ada satupun orang hebat, orang kaya, orang yang memiliki lapangan pekerjaan, tidak pula kondusifnya ekonomi sekitar bisa mendatangkan rejeki kepada kita, jika Allah menahannya. Allah berfirman; ”Atau siapakah dia yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizki-Nya? (QS.al-Mulk :21).
Begitupun ketika seseorang berada dalam ancaman, ketakutan dan kekhawatiran atas bahaya yang mengancam. Apa yang menjadi kenyataan pada akhirnya, tergantung persangkaan di awalnya. Orang-orang yang merasa berputus asa untuk berusaha, pun telah pupus harapannya kepada Allah, hanyalah orang yang lemah imannya terhadap kekuasaan-Nya. Merekapun jutsru mendatangi dukun, mengalungkan jimat dan menempuh hal-hal yang jauh dari nalar, jauh dari iman. Allah mencela orang-orang musyrik yang meragukan kekuatan dan kekuasaan Allah, lalu berpaling kepada sesembahan selain Allah, ”Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS az –Zumar 67).
Simaklah bapaknya muwahhidin, Khalilullah Ibrahim alaihis salam. Betapa kuat persangkaan baiknya kepada Allah. Bahwa tiada suatu kekuatanpun yang kuasa menahan kehendak-Nya, betapa pula tipu daya manusia itu lemah dan remeh di hadapan kekuasan-Nya. Tatkala Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala, beliau yakin Allah akan menyelamatkannya dengan cara yang dikehendaki-Nya. Diapun menyerahkan keselamatannya kepada Allah dengan berucap, “hasbunallah wa ni’mal wakil”, cukuplah Allah sebagai penolong, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.
Apa yang terjadi setelahnya? Allah membalas lunas persangkaan baik Ibrahim alaihis salam kepada Penciptanya, Kami (Allah) berfirman:”Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan itu mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS al-Anbiya’ 69-70).

II.3    Prasangka Menjadi Nyata?
Apa yang dialami Nabi Ayyub alaihis salam itu menguatkan kebenaran hadits qudsy, di mana Nabi saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,

 بِي عَبْدِى ظَنِّ عِنْدَ أَنَا
”Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR Bukhari)

Selagi seseorang berharap sembuh kepada Allah, dan terus terjaga prasangka baiknya kepada Allah, niscaya Allah akan menyembuhkannya. Begitu pula sebaliknya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, di mana ketika Nabi menengok seorang badui yang sedang sakit, beliau mengatakan, “la ba’sa, thahuurun insya Allah!”, tidak apa-apa, menjadi pembersih (dosa) in syaaAllah. Tapi, si badui itu malah menyanggah dengan kata-kata, “(Penyakit ini menjadi) pembersih katamu? Bukan, ini adalah demam tinggi yang menyerang si tua renta dan akan mengantarkannya ke dalam kubur!” Nabi saw menjawab “na’am idzan”, ya baiklah kalau begitu. Maka sakit itupun menyebabkan si badui itu wafat. Begitulah, buruk sangka menghasilkan hasil yang buruk, sebagaimana berbaik sangka kepada Allah membuahkan hasil yang diinginkan.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat, antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya. Dalam hal perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah persangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya.
Begitu pentingnya husnuzhan kepada Allah, hingga Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya ”Husnuzhan Billah”, menyebutkan 151 dalil baik berupa ayat maupun hadits, yang kesemuanya menghasung kita untuk optimis dalam berpengharapan, meninggalkan pesimistis dan putus asa, dan senantiasa konsisten dengan prasangka yang baik.

II.4    Baik Sangka Hingga Ajal di depan Mata
Husnuzhan kepada Allah, senantiasa berkhasiat sepanjang hayat. Bahkan, di detik-detik akhir kehidupan manusia, husnuzhan lebih dibutuhkan lagi. Karena kegentingan yang dihadapi tak tertandingi. Itulah saat yang paling menakutkan, mengkhawatirkan, sekaligus menentukan apa yang akan terjadi sesudahnya. Maka Nabi saw memperingatkan dengan serius, untuk menjaga husnuzhan sampai titik penghabisan. Beliau bersabda,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
”Janganlah salah seorang di antara kamu mati, kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” (HR Muslim)

Anas bin Malik juga menceritakan, bahwa Nabi saw menjenguk seorang pemuda yang sedang menghadapi sakaratul maut, lalu belia bertanya, “Bagaimana keadaan dirimu?” Orang itu berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya saya berharap (baik) kepada Allah, dan saya takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, Tidaklah berkumpul dua hal itu terkumpul dalam hati seorang hamba di saat seperti ini, kecuali Allah memberikan karunia sebagaimana yang diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti.” (HR Tirmidzi, Syaikh al-Albani mengatakan, “hasan”), begitulah dahsyatnya prasangka kepada Allah swt.


BAB III
KESIMPULAN

Secara bebas kita bisa mengatakan bahwa prasangka adalah sebuah fikiran terhadap sesuatu. Prasangka letaknya di alam quantum sehingga tidak bisa dilihat, hanya bisa dirasakan dalam benak atau dalam perasaan (batin). Karena di alam quantum (perasaan) segala sesuatu menyatu maka kita akan mendapati kenyataan bahwa jika kita memprasangkakan sesuatu sesungguhnya kita mengundang sesuatu itu (sangkaan itu akan mengenai kita juga).
Mengingat kenyataan demikian maka jika kita berprasangka buruk terhadap kehidupan ini terutama terhadap Allah Swt. , maka kita akan menerima segala keburukan dalam kehidupan kita sendiri, sebaliknya jika kita berprasangka baik terhadap kehidupan ini terutama terhadap Allah Swt. maka kita pun akan menerima segala kebaikan yang hadir dalam kehidupan kita yang datang nya dari Allah Swt.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat, antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya.Dalam hal perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah prasangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya. Salah satu cara memelihara jalinan ukhuwah Islamiyah adalah dengan berbaik sangka kepada saudara-saudara sesama Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar