KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
..
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam berprasangkaan yang baik.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, tiada
gading yang tak retak, meskipun dalam penyusunan makalah
ini penulis telah mencurahkan semua kemampuan, namun penulis
sangat menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini jauh dari sempurna
dikarenakan keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan penulis. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari
berbagai pihak.
Bandung,
Rabu 28 Maret 2012
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Suatu hari Rasulullah
SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat dari para sahabat. Akan tetapi, Ibnu
Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas yang juga paman Nabi SAW tidak menyerahkan
zakatnya. Umar pun kemudian melaporkan sikap ketiga sahabat itu kepada
Rasulullah
Mendengar laporan itu,
Rasulullah bersabda, ''Tiada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk
menyerahkan zakat kecuali dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya.
Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia
menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas,
aku telah mengambil zakatnya dua tahun lalu.''
Setelah itu, Rasulullah
pun bersabda, ''Wahai Umar, apakah kamu tidak tahu bahwa paman seseorang itu
sama seperti ayahnya?'' (HR Bukhari dan Muslim). Dari kisah itu, Rasulullah SAW
mengajarkan kepada umatnya untuk berbaik sangka kepada sesama. Nabi SAW
senantiasa mengingatkan umatnya untuk menjauhi prasangka buruk.
Prasangka (syak) adalah penyakit yang sangat berbahaya di dalam kehidupan.
Apalagi jika prasangka ini berlaku di kalangan Muslim yang sama-sama berusaha
untuk membawa perubahan dan kebaikan di dalam masyarakat dan negara. Definisi
prasangka pertama kali dikenalkan oleh
psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport, yang menulis konsep
itu dalam bukunya, “The Nature Of Prejudice in 1954“. Istilah itu
berasal dari kata praejudicium, yaitu pernyataan atau kesimpulan tentang
sesuatu berdasarkan perasaan/ pengalaman yang dangkal terhadap seseorang/sekelompok
orang tertentu.
Perasaan yang umumnya terkandung dalam
prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung
benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka
biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal
seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya.
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari
penulisan makalah ini adalah agar kita selalu dalam keadaan baik, mudah dan
berkah, maka pada hakikatnya manusia harus berprasangka baik kepada Allah SWT.
, Alam Semesta (kehidupan), orang lain
dan pada diri kita sendiri. Tentunya husnuzhan kepada Allah,
senantiasa berkhasiat sepanjang hayat.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
II.1 Penjelasan
Prasangka
Dalam Kehidupan Dunia ini, seringkali
kita merasa didzalimi oleh orang lain, berupa dipergunjingkan, disakiti atau
dipermainkan oleh orang lain, bahkan tidak jarang oleh kerabat kita
sendiri. Maafkanlah mereka yang berbuat itu, karena Allah-lah yang akan
menghukumnya.
Dalam
hadist pun diterangkan bahwa:
وَاظَّنَّ، إيَّاكُم} صلعم اللهِ رَسُولُ قال :قال رض هُرَيرَةَ
أبِي وَعَن
عَلَيهِ
مُتَّفقٌ {اَلحَدِيثِ أكذَبُ اَلظَّنَّ فَإنَّ
Dan
dari Abu Hurairah R.a berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Berhati-hatilah
terhadap Zhan(prasangka), maka sesungguhnya prasangka itu sebohong-bohong
ucapan.
Di dalam Hadis ini Nabi Saw. telah
berpesan kepada kita agar berhati-hati dengan prasangka yang buruk terhadap
seseorang.
Syekh
Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul, menjelaskan secara detail
tentang jenis-jenis prasangka, menurut Syekh al-Mishri, ada empat macam
prasangka yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
1. Prasangka yang diharamkan. Prasangka yang termasuk kategori
haram itu adalah berprasangka buruk terhadap Allah serta berprasangka buruk
terhadap kaum Muslimin yang adil.
2. Prasangka yang diperbolehkan. ''Prasangka yang diperbolehkan
adalah yang terlintas dalam hati seorang Muslim kepada saudaranya karena adanya
hal yang mencurigakan,'' papar Syekh al-Mishri.
3. Prasangka yang dianjurkan. Menurut dia, prasangka jenis ini
adalah prasangka yang baik terhadap sesama Muslim.
4. Prasangka yang diperintahkan. Menurut Syekh al-Mishri,
prasangka yang diperintahkan adalah prasangka dalam hal ibadah dan hukum yang
belum ada nashnya. ''Dalam hal ibadah, kita cukup berdasarkan prasangka yang
kuat, seperti menerima kesaksian dari saksi yang adil, mencari arah kiblat,
menaksir kerusakan-kerusakan, dan denda pidana yang tidak ada nash yang
menentukan jumlah atau kadarnya,'' ungkapnya.
Sedangkan
Sufyan ats-Tsauri menjelaskan ada dua jenis prasangka, yakni berdosa dan tidak
berdosa. Prasangka yang berdosa, tutur ats-Tasuri, jika seseorang
berprasangka dan mengucapkannya kepada orang lain. Sedangkan, yang
tak berdosa adalah prasangka yang tidak diucapkan atau disebarkan kepada
orang lain. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah
kebanyakan dari sangkaan karena sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu
adalah dosa, dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan
keaiban orang, dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain.
Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati?
(Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha
mengasihani.” Al-Hujuraat ayat 12
II.2 Prasangka adalah do'a,
karena prasangka dapat menjadi kenyataan?
Ibnu Hibban meriwayatkan, bahwa Nabi Ayyub AS terjangkit
penyakit selama delapan belas tahun. Hingga orang-orang dekat maupun yang jauh
mengasingkan beliau. Kecuali dua orang dari saudaranya. Di mana keduanya setiap
pagi dan sore menjenguk beliau. Suatu hari, salah seorang dari keduanya berkata
kepada yang lain, ”kamu tahu, demi Allah Ayyub telah melakukan suatu dosa yang
tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di alam ini.” Temannya berkata, ”Apa
itu?” Dia menjawab, ”Sejak delapan belas tahun Allah tidak mengasihi dia.”
(Silsilah ash-shahihah, al-Albani menyatakan ’shahih’)
Perbincangan itu
sampai ke telinga Ayyub AS. Namun, semua itu tidak menyurutkan harapannya
kepada Allah. Beliau ridha atas ketetapan Allah, dengan tetap optimis, bahwa
Allah akan mengasihi dan menolongnya. Subhanallah, selama delapan belas tahun,
beliau menjaga prasangka baiknya kepada Allah, dan tak pernah turun kadarnya
dengan interval waktu yang begitu lama. Hal yang barangkali seandainya terjadi
di antara kita (nas’alullahal ’aafiyah), harapan segera pupus setelah beberapa
lama berusaha dan berdoa. Atau minimal terjadi pergulatan hebat antara
keyakinan, keraguan dan bahkan ketidakpercayaan. Namun, tidak demikian dengan
Nabi Ayyub AS.
Hingga suatu hari, Allah mewahyukan kepada beliau, (Allah
berfirman): “Hantamkanlah kakimu;
Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum”. (QS. Shaad 42)
Begitulah, kemudian beliau sembuh total, seperti tidak
pernah sakit sebelumnya, dan bahkan keadaannya lebih baik dari sedia kala.
Prasangka
kepada Allah, tidak sama dengan prasangka kepada selain-Nya. Karena semua
makhluk terbatas kemampuannya, sedangkan Allah, kuasa berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya. Berbaik sangka kepada Allah tidak saja menimbulkan semangat
berusaha lantaran luasnya harapan dan kesempatan. Namun hakikatnya, prasangka
itu adalah permohonan dan doa.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan efek prasangka dalam
usaha dan pengharapan, “Setiap kali seorang hamba berbaik sangka kepada Allah,
maka harapanpun yang muncul adalah yang baik-baik, tawakalnya kepada Allah
menjadi kokoh. Maka Allah tidak akan menyia-nyiakan keinginannya sedikitpun.
Allah tidak akan menelantarkan orang yang berusaha dengan dilandasi optimis dan
prasangka yang baik (kepada-Nya). Maka tidak ada yang lebih melapangkan dada
setelah iman kepada Allah, selain percaya penuh kepada Allah, berharap
kepada-Nya, dan selalu berbaik sangka kepada Allah.”
Bahkan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu atas dasar
hadits qudsy di atas berkata, ”Demi
Allah yang tiada ilah yang haq kecuali Dia, tiada seorangpun berbaik sangka
kepada Allah, melainkan Allah akan memberikan sesuai yang disangkanya, karena
kebaikan ada di tangan-Nya.” (Atz-Tadzkirah, imam al-Qurthubi)
Maka selayaknya seorang muslim tidak pernah melepaskan
husnuzhannya kepada Allah dalam meraih segala kemaslahatan, baik di dunia
maupun di akhirat. Dalam hal
perolehan rejeki misalnya. Tak selayaknya seorang muslim khawatir dan takut
jatuh dalam kemiskinan. Seakan rejekinya bergantung kepada manusia, musim, atau
lingkungan di mana ia tinggal di dalamnya. Buruknya persangkaan ini justru
menjadi penyebab sejati, seseorang akhirnya menjadi miskin. Karena tatkala ia
merasa peluang ma’isyah sempit, menjadi sempitlah harapannya.
Kemudian akan menjalar pada lemahnya usaha dia untuk mencari
karunia dari Allah. Andai saja dia berbaik sangka, bahwa Allah kuasa membagikan
rejeki kepada siapapun, kapapun dan seberapapun, niscaya keadaan akan berubah.
Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menahan tatkala Allah menghendaki untuk
menganugerahkan rejeki kepada kita. Begitupun sebaliknya, tak ada satupun orang
hebat, orang kaya, orang yang memiliki lapangan pekerjaan, tidak pula
kondusifnya ekonomi sekitar bisa mendatangkan rejeki kepada kita, jika Allah
menahannya. Allah berfirman; ”Atau siapakah dia yang memberi kamu rizki
jika Allah menahan rizki-Nya? (QS.al-Mulk :21).
Begitupun ketika seseorang berada dalam ancaman, ketakutan
dan kekhawatiran atas bahaya yang mengancam. Apa yang menjadi kenyataan pada
akhirnya, tergantung persangkaan di awalnya. Orang-orang yang merasa berputus
asa untuk berusaha, pun telah pupus harapannya kepada Allah, hanyalah orang
yang lemah imannya terhadap kekuasaan-Nya. Merekapun jutsru mendatangi dukun,
mengalungkan jimat dan menempuh hal-hal yang jauh dari nalar, jauh dari iman.
Allah mencela orang-orang musyrik yang meragukan kekuatan dan kekuasaan Allah,
lalu berpaling kepada sesembahan selain Allah, ”Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS az –Zumar 67).
Simaklah bapaknya muwahhidin, Khalilullah Ibrahim alaihis
salam. Betapa kuat persangkaan baiknya kepada Allah. Bahwa tiada suatu
kekuatanpun yang kuasa menahan kehendak-Nya, betapa pula tipu daya manusia itu
lemah dan remeh di hadapan kekuasan-Nya. Tatkala Ibrahim AS dilemparkan ke
dalam api yang menyala-nyala, beliau yakin Allah akan menyelamatkannya dengan
cara yang dikehendaki-Nya. Diapun menyerahkan keselamatannya kepada Allah
dengan berucap, “hasbunallah wa ni’mal wakil”, cukuplah Allah sebagai penolong,
dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.
Apa yang terjadi setelahnya? Allah membalas lunas
persangkaan baik Ibrahim alaihis salam kepada Penciptanya, Kami (Allah) berfirman:”Hai api menjadi
dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat
makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan itu mereka orang-orang yang paling
merugi.” (QS al-Anbiya’ 69-70).
II.3 Prasangka
Menjadi Nyata?
Apa yang dialami Nabi Ayyub alaihis salam itu menguatkan
kebenaran hadits qudsy, di mana Nabi saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,
بِي عَبْدِى ظَنِّ عِنْدَ
أَنَا
”Aku tergantung
persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR Bukhari)
Selagi seseorang berharap sembuh kepada Allah, dan terus
terjaga prasangka baiknya kepada Allah, niscaya Allah akan menyembuhkannya.
Begitu pula sebaliknya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, di
mana ketika Nabi menengok seorang badui yang sedang sakit, beliau mengatakan,
“la ba’sa, thahuurun insya Allah!”, tidak apa-apa, menjadi pembersih (dosa) in
syaaAllah. Tapi, si badui itu malah menyanggah dengan kata-kata, “(Penyakit ini
menjadi) pembersih katamu? Bukan, ini adalah demam tinggi yang menyerang si tua
renta dan akan mengantarkannya ke dalam kubur!” Nabi saw menjawab “na’am
idzan”, ya baiklah kalau begitu. Maka sakit itupun menyebabkan si badui itu
wafat. Begitulah, buruk sangka menghasilkan hasil yang buruk, sebagaimana
berbaik sangka kepada Allah membuahkan hasil yang diinginkan.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan
seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat,
antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang
akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya. Dalam hal
perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada
Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah
persangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya.
Begitu pentingnya husnuzhan kepada Allah, hingga Ibnu Abid
Dunya dalam kitabnya ”Husnuzhan Billah”, menyebutkan 151 dalil baik berupa ayat
maupun hadits, yang kesemuanya menghasung kita untuk optimis dalam
berpengharapan, meninggalkan pesimistis dan putus asa, dan senantiasa konsisten
dengan prasangka yang baik.
II.4 Baik
Sangka Hingga Ajal di depan Mata
Husnuzhan kepada Allah, senantiasa berkhasiat sepanjang
hayat. Bahkan, di detik-detik akhir kehidupan manusia, husnuzhan lebih
dibutuhkan lagi. Karena kegentingan yang dihadapi tak tertandingi. Itulah saat
yang paling menakutkan, mengkhawatirkan, sekaligus menentukan apa yang akan
terjadi sesudahnya. Maka Nabi saw memperingatkan dengan serius, untuk menjaga
husnuzhan sampai titik penghabisan. Beliau bersabda,
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ
وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
”Janganlah salah seorang di antara kamu mati,
kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” (HR Muslim)
Anas bin Malik juga menceritakan, bahwa Nabi saw menjenguk
seorang pemuda yang sedang menghadapi sakaratul maut, lalu belia bertanya,
“Bagaimana keadaan dirimu?” Orang itu berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya berharap (baik) kepada Allah, dan saya takut akan
dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, Tidaklah berkumpul dua hal itu terkumpul dalam hati seorang hamba di
saat seperti ini, kecuali Allah memberikan karunia sebagaimana yang
diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti.” (HR
Tirmidzi, Syaikh al-Albani mengatakan, “hasan”), begitulah
dahsyatnya prasangka kepada Allah swt.
BAB III
KESIMPULAN
Secara bebas kita bisa mengatakan bahwa
prasangka adalah sebuah fikiran terhadap sesuatu.
Prasangka letaknya di alam quantum sehingga tidak bisa dilihat, hanya bisa dirasakan dalam benak atau dalam perasaan
(batin). Karena di alam quantum (perasaan) segala
sesuatu menyatu maka kita akan mendapati kenyataan bahwa jika kita memprasangkakan sesuatu sesungguhnya kita
mengundang sesuatu itu (sangkaan itu akan mengenai kita juga).
Mengingat kenyataan demikian maka jika
kita berprasangka buruk terhadap kehidupan ini
terutama terhadap Allah Swt. , maka kita akan menerima segala keburukan dalam kehidupan kita sendiri, sebaliknya jika kita
berprasangka baik terhadap kehidupan
ini terutama terhadap Allah Swt. maka
kita pun akan menerima segala kebaikan yang hadir
dalam kehidupan kita yang datang nya dari Allah Swt.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan
seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat,
antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang
akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya.Dalam hal
perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada
Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah
prasangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya. Salah satu cara
memelihara jalinan ukhuwah Islamiyah adalah dengan berbaik sangka kepada
saudara-saudara sesama Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar